Senin, 09 Maret 2009 di 3:53:00 PM

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hasil produksi perikanan di Indonesia terus meningkat dari tahun ketahun, terutama jenis udang-udangan (Crustacea). Udang windu (Panaeus monodon FAB) merupakan salah satu produk unggulan perikanan Indonesia yang termasuk dalam sektor non migas. Permintaan pasar terhadap udang windu sangat tinggi, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal ini dikarenakan banyaknya keistimewaan yang dimiliki oleh udang windu dibandingkan dengan produk perikanan lainnya, misalnya ukurannya yang besar dan cita rasa yang enak. Jika dilihat dari media hidupnya, udang windu termasuk kedalam hewan yang sangat mudah untuk dibudidayakan. Selain dapat hidup di air laut, udang windu dapat dikultur pada media air payau. Budidaya udang windu juga dapat dilakukan dalam skala kecil maupun skala besar sehingga membutuhkan tenaga kerja yang diharapkan dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat di daerah pesisir maupun daerah di sekitarnya.
Pada saat permintaan udang dunia terus meningkat, terjadi penurunan produksi udang di Indonesia dari 133,836 ton tahun 2003, dan 127,119 ton tahun 2004 menjadi 100,000 ton pada tahun 2005 (Dirjen Perikanan Budidaya 2006). Penurunan produksi udang di Indonesia mulai tahun 2003 hingga sekarang terutama disebabkan oleh serangan infeksi virus akibat buruknya kondisi perairan (Purnomo 1997) sehingga terjadi kegagalan panen di tambak.
Pada saat ini, ada beberapa penyakit pada udang yang sudah mulai meresahkan masyarakat pembudidaya udang, misalnya penyakit whitespot yang menyerang udang putih atau penyakit vibriosis yang menyerang udang windu. Penyakit vibriosis dikenal pembudidaya udang sebagai penyakit yang menyerang bagian kulit udang. Penyakit ini disebabkan oleh spesies-spesies dari jenis vibrio yang berbeda-beda, dan setiap spesies vibrio memiliki intensitas parasitas yang berbeda-beda. Penularan penyakit vibriosis ini tergolong cepat sehingga dapat meningkatkan nilai mortalitas pada suatu tambak. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva udang sampai 100% dalam waktu 1-2 hari.
Beberapa lembaga perikanan sudah mulai mencari cara untuk pencegahan dan pengobatan udang dari serangan vibriosis. Beberapa bahan alam yang telah diketahui dapat mengatasi serangan penyakit vibriosis ini adalah buah mangrove, makroalga sargassum, dan beberapa bakteri laut. Penggunaan bahan-bahan alam dalam mengatasi serangan penyakit vibriosis lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sintetis, karena selain tidak menimbulkan efek samping juga mudah untuk didapatkan. Pencegahan penyakit vibriosis ini dilakukan dengan tujuan menghambat penyebaran dan penularan penyakit tersebut terhadap udang-udang lainnya. Apalagi penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang berkembang baik di perairan tropis, sedangkan di Indonesia budidaya udang telah menyebar hampir diseluruh wilayah, yaitu daerah jawa, Bali, Lampung, Sulawesi selatan dan aceh (Taslihan 1991). Oleh karena itu beberapa balai perikanan di Indonesia sudah mulai melakukan penyuluhan-penyuluhan terhadap petambak-petmbak yang rentan dalam menangani masalah ini, seperti yang kita ketahui, kebanyakan nelayan di Indonesia hanya mengelola tambak-tambak dengan pengetahuan seadanya. Oleh karena itu, peran tenaga-tenaga ahli dalam melakukan penyuluhan-penyuluhan di berbagai tempat harus ditingkatkan untuk menunjang keberhasilan masyarakat petambak dalam meningkatkan hasil produksinya.

1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengkaji efektifitas beberapa jenis alam untuk mengatasi serangan vibriosis
    pada udang windu (Panaeus monodon FAB).
2. Mengetahui bahan alami yang paling efektif dalam mengatasi serangan
    penyakit vibriosis pada udang windu (Panaeus moniodon FAB).

1.3 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini dapat memberikan informasi dan kajian ilmiah kepada mahasiswa, instansi yang terkait, dan masyarakat khususnya pembudidaya mengenai bahan-bahan alam yang dapat digunakan untuk mengatasi serangan penyakit vibriosis pada udang windu (Panaeus monodon FAB).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi udang windu
Udang windu (Panaeus monodon Fab.) memiliki sifat-sifat dan ciri khas yang membedakannya dengan udang-udang yang lain. Udang windu bersifat Euryhaline, yakni secara alami bisa hidup di perairan yang berkadar garam dengan rentang yang luas, yakni 5-45 ‰. Kadar garam ideal untuk pertumbuhan udang windu adalah 19-35 ‰. Sifat lain yang juga menguntungkan adalah ketahanannya terhadap perubahan suhu yang dikenal sebagai eurythemal (Suyanto dan Mujiman 2004).
Udang merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis makannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur udang. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Udang dewasa menyukai daging binatang lunak atau molusca (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea.
Dalam usaha budidaya, udang mendapatkan makanan alami yang tumbuh di tambak, yaitu klekap, lumut, plankton, dan benthos. Udang akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan (Soetomo 1990). Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo 1990). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman 2004). Secara alami daur hidup udang panaeoid meliputi dua tahap, yaitu tahap ditengah laut dan diperairan muara sungai (estuaria). Udang windu tumbuh menjadi dewasa dan memijah ditengah laut. Telur udang yang telah dihasilkan kemudian disimpan pada bagian punggung dari abdomen betina. Bila telur tersebut telah matang dan siap untuk dibuahi maka dikeluarkan melalui saluran telur (oviduct) yang terdapat pada bagian pangkal dari pasangan kaki jalan ke tiga. Pada saat telur dikeluarkan, secara bersamaan spermatofor dipecahkan oleh induk betina, sehingga terjadilah pembuahan. Telur yang yang telah dibuahi akan menetas dalam waktu 12 sampai 15 jam dan berkembang menjadi larva (Martosudarmo dan Ranoemihardjo 1979).

                 
     Gambar 1. Sikuls Hidup Udang Windu (Panaeus monodon Fab.)
2.2 Tinjauan Umum Vibrio harveyi dan Vibriosis
2.2.1 Klasifikasi
Berdasarkan Bergey,s Manual of Determinative Bacteriology dalam Breed et al. (1948) Vibrio harveyi diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Pseudomonadaceae
Genus : Vibrio
Spesies : Vibrio harveyi

2.2.2 Karakteristik biologi
Secara umum ciri-ciri Vibrio yaitu berbentuk koma atau batang pendek, bengkok atau lurus, bersel tunggal, mempunyai alat gerak berupa flagella kutub tunggal (monotoric flagel), termasuk gram negatif, ukuran sel 1-4 mm, tidak membentuk spora, oksidase positif, katalase positif, serta proses fermentasi karbohidratnya tidak membentuk gas (Jawestz et al., 1984). Bakteri ini selain didapatkan di air laut juga ditemukan di air payau, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya penyakit vibriosis pada ikan air payau (Sunaryanto et al., 1987). Vibrio juga termasuk bakteri yang bersifat halofil, yaitu tumbuh dengan rentang toleransi salinitas 5-80 ppt dan tumbuh optimal pada salinitas 20-40 ppt (Taslihan, 1992).
Pada umumnya Vibrio dapat tumbuh dengan baik dan cepat dalam medium kultur standar (Breed et al., 1948). Medium yang dapat digunakan untukkultur Vibrio antara lain : ORI yang mengandung 0,1 % pepton, 0,2 % protease, dan 0,2 % ekstrak khamir (Simidu et al., 1987); CEY yang mengandung 20 gram/liter asam casamino, 6 gram/liter ekstrak khamir, dan 2,5 gram/liter NaCl (Krovacek et al., 1987); medium NaCl tanpa nutrien agar (Farkas dan Malik, 1986); medium TGY (Tryptone Glucose Yeast) (Egidius dan Andersen, 1978);10 medium BHI (Broth Hearth Infision), TSA (Tryptic Soy Agar), TSB (Tryptic Soy Broth), NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), serta medium TCBS
(Sunaryanto et al., 1987; Taslihan, 1988).
2.2.3 Patogenisitas Vibrio harveyi
Vibrio merupakan bakteri yang berbahaya dalam kegiatan budidaya perikanan laut dan payau, baik bagi jenis ikan maupun crustacea. Menurut Egidius (1987) Vibrio menyerang lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Sedangkan menurut Lightner (1983) dari 17 spesies bakteri yang diisolasi dari Penaeus setiferus 42,3 % adalah Vibrio yang terdiri dari 57 strain.
Vibrio merupakan penyebab utama penyakit udang menyala dan dapat berperan sebagai patogen primer ataupun patogen sekunder. Sebagai pathogen primer, Vibrio masuk melalui kontak langsung dengan organisme; sedangkan sebagai patogen sekunder, Vibrio menginfeksi organisme yang telah terlebih dahulu terinfeksi penyakit lain (Mariam dan Mintarjo, 1987; Sunaryanto et al., 1987; Farkas dan Malik, 1986). Menurut Rheinheimer (1985) Vibrio menyerang dengan merusak lapisan kutikula yang mengandung khitin dikarenakan Vibrio memiliki chitinase, lipase, dan protease. Penyakit udang menyala ini pada umumnya menyerang udang pada stadia mysis sampai awal pasca larva (Taslihan, 1988).
Penanganan yang paling umum dilakukan untuk mengatasi penyakit udang menyala akibat infeksi Vibrio harveyi adalah dengan menggunakan bahanbahan kimia seperti : Chloramphenicol 1,9 ppm, Oxytetracycline 2 ppm, Furazalidon 2-4 ppm, dan Prefuran 1,5-2,0 ppm (Rukyani, 1999). Akan tetapi sebagian besar obat-obatan yang digunakan tersebut pada akhirnya tidak efektif dan dapat mengakibatkan kelainan (deformities) pada larva udang (Pitogo, 1989) serta dapat juga berakibat berkembangnya resistensi bakteri terhadap obat (Rukyani, 1999).
2.3 Biologi Mangrove Sonneratia caseolaris
Sonneratia caseolaris adalah salah satu spesies tanaman mangrove yang tunbuh di daerah estuarin atau perairan payau yang memiliki salinitas 10-15 ppm. Biasanya ekosistem mangrove terdiri dari berbagai jenis tanaman yang memiliki karakteristik yang hampir mirip. Sonneratia adalah salah satu dari berbagai jenis tanaman dari ekosistem mangrove yang sering dimanfaatkan untuk keperluan di bidang farmakologi dan konsevasi lingkungan. Spesies ini juga berperan sebagai sarana penunjang kehidupan bagi hewan-hewan atau tumbuhan-tumbuhan yang hidup di perairan payau. Tanaman ini berperan dalam menyuplai O2 dan juga sebagai sumber nutrisi bagi makhluk-makhluk yang hidup disekitarnya. Oleh karena itu, pengembangan mangrove atau hutan bakau di Indonesia saat ini dilakukan secara besar-besaran. Karena selain dapat menunjang kehidupan organisme di perairan payau, hutan mangrove jaga dapat mencegah abrasi (pengikisan yang disebabkan oleh air laut).
2.3.1 Morfologi Sonneratia caseolaris
Morfologi Sonneratia caseolaris tidak berbeda jauh dengan morfologi tumbuhan terrestrial tingkat tinggi pada umumnya. Tumbuhan ini memiliki pembuluh kayu pada batangnya dan terdapat klorofil pada daunya. Hanya saja perbedaanya terdapat pada bagian akarnya. Sebagian besar tumbuhan mangrove memilik akar napas yang berfungsi untuk mengatur suplai O2 dan sebagai alat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Akar napas tersebut adalah salah satu faktor yang menyebabkan tanaman mangrove dapat hidup di perairan yang memiliki salinitas yang cukup tinggi.





BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Tinjauan Umum Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Peper betle Linn)
dalam Mengatasi Penyakit Vibriosis Pada Udang Windu
Dalam Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun sirih dalam pakan buatan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup udang windu yang diinfeksi Vibrio harveyi. Hasil uji jarak berganda Duncun menunjukkan perbedaan (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata Kelangsungan Hidup Benih Udang Windu Setelah Diinfeksi
Vibrio harveyi pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih.
NO
Perlakuan
Mg/Kg pakan
Rata-rata kelangsungan hidup
(%)
1
A (5)
16,67
2
B (10)
53,33
3
C (15)
66,67
4
D (20)
76,67
5
E (25)
86,67
6
F (0)
6,66

 Perlakuan F (kontrol) dimana udang windu tidak diberikan ekstrak daun sirih memberikan angka kelangsungan hidup terndah sebesar 6,66 %. Hal ini dikarenakan dalam tubuh udang tidak terdapat zat antimikroba yang dapat membunuh bakteri yang menyerang, seperti zat yang terkandung dalam daun sirih. Diduga udang hanya memiliki antibodi alami yang dibentuk oleh tubuh dalam kondisi normal sehingga kemampuan Vibrio harveyi untuk menyerang benih udang windu pada perlakuan ini lebih kuat, akibatnya kemampuan untuk mempertahankan diri lebih rendah dibandingkan udang windu yang diberi ekstrak daun sirih. Menurut Kwang (1996) dalam Salfira (1998), sistem kekebalan tubuh udang windu masih sederhana, dimana udang tidak mempunyai immunoglobin yang berperan dalam mekanisme tubuh.
Rata-rata kelangsungan hidup benih udang windu pada perlakuan A sebesar 16,67 %, dimana berdasarkan uji Duncan perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B, C, D, dan E tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan F. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan A dikarenakan konsentrasi ekstrak daun sirih yang diberikan pada udang sangat rendah. Senyawa-senyawa dalam ekstrak daun sirih yang diberikan pada konsentrasi 5 mg/kg pakan belum mampu membunuh bakteri dalam tubuh udang windu secara maksimal atau masih dalam tingkatan yang rendah sehingga belum mampu mencegah infeksi oleh Vibrio harveyi. Tingkat kelangsung hidup rata-rata pada perlakuan B berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 53,33 %, diduga ekstrak daun sirih yang masuk ke dalam tubuh udang melalui pakan mulai pekerja mencegah terjadinya infeksi dan dapat menghambat zat-zat yang dapat dihasilkan oleh bakteri seperti racun. Namun seperti halnya perlakuan A, konsentrasi yang dibutuhkan untuk membunuh Vibrio harveyi masih terlalu rendah karena perlakuan B merupakan konsentrasi minimum ekstrak daun sirih dalam membunuh Vibrio harveyi. Perlakuan C, D, dan E memberikan kelangsungan hidup rata-rata masingmasing sebesar 66,67 % 76,67 % dan 86,67 % dimana perlakuan C tidak memberikan pengaruh yang berbeda dengan perlakuan D tetapi berpengaruh nyata dengan perlakuan E. Sedangkan perlakuan D tidak berbeda nyata dengan perlakuan E. Hal ini diduga pada konsentrasi tersebut, ekstrak daun siruh telah mampu membunuh Vibrio harveyi dengan cara menghambat/menghancurkan dinding sel Vibrio harveyi. Perlakuan E memberikan angka kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain, diduga karena konsentrasi ekstrak daun sirih yang semakin tinggi maka kandungan dari ekstrakpun akan semakin tinggi pula, sehingga lebih efektif menghancurkan dinding sel bakteri. Pemberian ekstrak sebesar 15 mg/kg pakan mampu meningkatkan kelangsungan hidup udang yang terinfeksi Vibrio harveyi, namun belum mampu memberikan kelangsungan hidup yang maksimal. Diduga, untuk membunuh Vibrio harveyi yang menyerang udang diperlukan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi karena tidak terdapat hubungan langsung antara ekstrak dengan bakteri, tetapi melalui pakan yang diberikan pada udang. Sehingga kemampuan untuk membunuh dari pemberian ekstrak secara langsung terhadap bakteri lebih besar dibandingkan dengan ekstrak yang dicampur dalam pakan yang konsentrasi yang sama. Data tambahan dengan konsentrasi 50 mg dan 100 mg per kilogram pakan menunjukan bahwa kelangsungan hidup rata-rata udang windu yang dihasilkan semakin menurun yaitu sebesar 76,67 % dan 73,33 %. Hal ini diduga dikarenakan pakan yang dicampur dengan ekstrak daun sirih pada konsentrasi tersebut tidak dimakan seluruhnya, terbukti dengan adanya sisa pakan pada dasar akuarium, sehingga kemampuan untuk membunuh bakteri tidak maksimal. Kemungkian pakan tidak dimakan karena rasa dari daun sirih, yaitu memiliki rasa yang pedas. Terlebih lagi pada konsentrasi tinggi kandungan daun sirih lebih banyak sehingga rasanyapun akan semakin pedas. Faktor lainnya karena adanya senyawa terpen yang terdapat pada minyak atsiri daun sirih yang bersifat racun bagi udang. Menurut Kitto (1999) senyawa terpenoid pada konsentrasi tinggi mampu membentuk busa dengan air sehingga proses pernafasan udang akan terganggu, akibat terjadi kematian. Gambar memperlihatkan tingkatan kelangsungan hidup benih udang windu dengan konsentrasi yang berbeda, diman pada perlakuan E (ekstrak daun sirih sebesar 25 mg/kg pakan) menunjukkan kelangsungan hidup tertinggi.

3.2 Tinjauan Umum Efektivitas Ekstrak Buah Mangrove (Sonneratia
caseolaris) dalam Mengatasi Penyakit Vibriosis Pada Udang Windu
Penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sering menimbulkan masalah pada budidaya udang. Penelitian untuk mengetahui peranan ekstrak buah mangrove Sonneratia caseolaris (L), untuk pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi bakteri Vibrio harveyi pada udang windu (Panaeus monodon Fab.) telah dilakukan. Dosis yang digunakan pada percobaan ini adalah 100 ppm untuk pencegahan dan 200 ppm untuk pengobatan, Indikator efektivitas metode ini dilihat dari perubahan persentasi hemosit yang dibedakan menjadi dua, yaitu granulosit (hemosit yang memiliki granula) dan hialosit (hemosit yang tidak bergranula).
4.2.1 Percobaan Pencegahan Infeksi Bakteri V. harveyi
Indikator efektivitas ekstrah bunga mangrove pada proses pencegahan infeksi V. harveyi terhadap udang windu dilihat dari perubahan persentase granulosit dan perubahan persentase hialosit atau hialin yang dibandingkan dengan kontrolnya (tidak menggunakan ekstrak mangrove). Hasil perbandingan persentase sel granular hemosit udang windu pada perlakuan pencegahan yaitu terjadi kenaikan persentase granulosit pada hari ke-1 sampai hari ke-14 pada perlakuan dengan pemberian ekstrak buah mangrove, dan berbeda halnya dengan control (tanpa pemberian ekstrak mangrove), pada hari ke-1 sampai hari ke-6 persentase granulosit mengalami penurunan, dan mulai pada hari ke-8 sampai hari ke-14 semua udang control telah mengalami kematian sehingga perhitungan persentase sel granular tidak dapat dilakukan.
Hasil perbandingan persentase sel hialosit hemosit udang windu pada perlakuan pencegahan yaitu terjadi penurunan persentase hialin pada hari ke-1 sampai hari ke-14 pada perlakuan dengan pemberian ekstrak buah mangrove. Bila dibandingkan dengan control (tanpa ekstrak mangrove), persentase hialin meningkat pada hari ke-1 sampai hari ke-6, dan mulai mengalami kematian sehingga perhitungan persentase sel hialin hemosit tidak dapat dilakukan.
4.2.2 Percobaan Pengobatan Udang Windu Terhadap Infeksi Bakteri V.
harveyi
Berbeda dengan percobaan pencegahan terhadap infeksi bakteri V. harveyi, pada pengobatan udang windu dengan penggunaan ekstrak buah mangrove terlebih dahulu diinfeksi bakteri dengan cara perendaman pada konsentrasi 107 CFU/ml. Tetapi indikator yang digunakan untuk mengetahui efektifitas ekstrak buah mangrove untuk pengobatan penyakit vibriosis sama halnya dengan indikator yang digunakan pada percobaan pencegahan, yaitu perubahan persentase granulosit dan persentase hialosit dibandingkan dengan kontrolnya.
Terjadi penurunan persentase hialin pada hari ke-1 sampai hari ke-14 pada perlakuan dengan pemberian ekstrak buah mangrove. Dan bila dibanndingkan dengan control (tanpa pemberian ekstrak mangrove), persentase hialin meningkat pada hari ke-1 sampai hari ke-6, dan mulai pada hari ke-8 sampai hari ke -14 semua udang control telah mengalami kematian sehingga perhitungan persentase sel hialin hemosit tidak dapat dilakukan.
Seperti halnya pada percobaan pencegahan, dengan buah mangrove, pada pengobatan menggunakan ekstrak buah mangrove, pada hari ke-1 sampai pada hari ke-14 terjadi kenaikan perentase granulosit, dan berbeda halnya dengan control (tanpa pemberian ekstrak mangrove), pada hari ke-2 sampai hari ke-6 persentase granulosit mengalami penurunan, dan mulai pada hari ke-8 sampai hari ke-14 semua udang Kontrol telah mengalami kematian sehingga penghitungan persentase sel granular hemosit tidak dapat dilakukan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa percobaan pencegahan dan pengobatan dengan ekstrak buah mangrove S. caseolaris didapatkan hasil persentase granulosit lebih besar disbanding persentase hialin. Persentase granulosit yang lebih besar dibanding hialosit yang diperoleh pada penelitian ini disebabkan karena granulosit merupakan sistem pertahanan seluler melawan infeksi, sel ini akan bermigrasi ke daerah-daerah yang mengalami infeksi. Granulosit mengandung granula di dalam sitoplasmanya dan memberikan warna biru dengan pewarnaan giemsa (Supamattaya et al, 1994). Granulosit akan menghancurkan patogen dengan cara menelan petogen.

4.2.3. Kelangsungan Hidup Udang Windu (Panaeus monmodon Fab.)
Kelangsungan hidup udang windu (P. monodon Fab.) pada perlakuan pencegahan dengan pemberian ekstrak buah mangrove yaitu Tingkat kematian udang mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-4 pada perlakuan pencegahan buah mangrove, sedangkan kematian semua udang control mulai terjadi pada hari ke-8, selanjutnya keadaan udang windu yang dipelihara sampai hari ke-14 pada perlakuan pencegahan dengan buah mangrove berada dalam keadaan normal. Udang makan mulai dari hari ke-2.
Pada perlakuan pengobatan dengan pemberian ekstrak buah mangrove, kelangsungan hidup udang windu (P. monodon Fab,) yaitu Tingkat kematian udang mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-6 pada perlakuan pengobatan dengan buah mangrove, kematian udang mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-4, sedangkan kematian semua terjadi pada hari ke-8.
Pada gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa ekstrak buah mangrove S. caseolaris pada pencegahan maupun pengobatan mampu menekan kematian udang terbukti dengan memberikan kelangsungan hidup yang relative tinggi yakni 73,33, 80,00, dan 83,33%. Peningkatan nilai kelangsungan hidup udang uji tersebut kemungkinan karena mangrove mempunyai bahan aktif yang berfungsi sebagai bahan antimikroba yang mampu menghambat dan mematikan bakteri.


4.4. Analisis Perbandingan Keunggulan Komparatif Efektivitas dari
Beberapa Bahan Alam dalam Mengatasi Serangan Penyakit Vibriosis
pada Udang Windu
Tabel 2. Analisis Perbandingan Efektivitas Bahan Alam pada Beberapa Penelitian

Paremeter

PENELITIAN
A
B
Ekstrak Daun
Sirih
(Winata, 2004)
Ekstrak Buah
Mangrove
(Maryani, dkk, 2002)
Metode
In Vivo
(Formulasi
Pakan)
In Vivo
(Perendaman
Ekstrak)
Formulasi
Bahan
Ekstrak
Ekstrak
Konsentrasi/
Dosis Uji
Efektif
25 mg/kg pakan
(b/b)
100 mg/L
200 mg/L
Nilai SR
Tertinggi
86,76 %
83,22 %
Waktu
Pengamatan
15 hari
14 hari
Ketersediaan
Bahan
Mudah didapat
Relatif sulit,
terbatas hanya di
daerah pesisir

Berdasarkan hasil analisa perbandingan (komparatif) terhadap efektivitas ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) dan Buah Mangrove (Sonneratia caseolaris ) dalam mengatasi serangan penyakit vibriosis pada udang windu (Penaeus monodon) diketahui bahwa terdapat perbedaan pada system pemaparan in vivo pada keduanya. Ekstrak daun sirih dipaparkan melalui formulasi pakan dan ekstrak buah mangrove dipaparkan dalam cara perendaman.
Dilihat dari nilai kelangsungan hidup (Survival Rate) dari kedua hasil penelitian diatas, diketahui bahwa pada pengujian ekstrak daun sirih didapatkan nilai SR yang paling tinggi yaitu 86,67% dalam waktu pengamatan 15 hari dan ekstrak buah mangrove sebesar 83,22% dalam waktu pengamatan14 hari
Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) merupakan salah satu parameter untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari ketiga bahan alam tersebut dalam mereduksi keberadaan bakteri patogen (Vibrio harveyi) yang merupakan penyebab penyakit vibriosis pada udang windu. Namun demikian ada beberapa parameter lain yang dapat dijadikan sebagai dasar penentuan keunggulan komparatif dari ketiga bahan alam tersebut
sebagai bagian dari penentuan efektivitas dalam praktis penerapannya. Berdasarkan hasil skoring yang didapat, diketahui bahwa ekstrak daun sirih memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi bila dibanding dengan bahan alam yang lainnya, terutama terkait dengan nilai SR sebagai parameter utama efektivitas bahan alam dan aspek ketersediaan bahan sebagai parameter pendukung aplikasi teknis penerapan.





















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1.      Penggunaan bahan alam terbukti mampu mengatasi serangan penyakit Vibriosis yang menyerang udang windu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) mampu memberikan nilai SR sebesar 86,76 dalam waktu pengamtan 15 hari, Ekstrak Buah Mangrove (Sonneratia caseolaris) memberikan nilai SR 83,22 dalam waktu pengamatan 14 hari.
2.      Berdasarkan analisis perbandingan efektivitas dan skoring keunggulan komparatif dari beberapa bahan alam diketahui bahwa Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibanding bahan alam yang lain.
3.      Pemanfaatan bahan alam sebagai antibiotik alami dapat membuka peluang ekonomi bagi masyarakat, khususnya masyarakat di daerah pesisir.

5.2 Saran
1.      Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai efektifitas dari ekstraksi bahan-bahan alam yang dapat membantu dalam mengatasi serangan vibriosis pada udang windu sehingga budidaya tambak dapat berjalan dengan baik.
2.      Perlu dilakukan kajian dan penelitian lanjutan mengenai efektivitas bahan alam dalam mengatasi serangan vibriosis terutama terkait dengan kemudahan aplikasi teknisnya.











DAFTAR PUSTAKA

Agung, M.U.K. 2005. Isolasi Senyawa Aktif Agen Antibakteri dari Ekstra Klorof Bakteri Photobacterium phosphoreum yang Bersimbiosis pada Organ Cahaya Cumi-Cumi Loligo duvauceli. (Tidak Dipublikasikan).

Budianto, Agus. 2001. Mengenal Larva Udang Windu. WAROS VOL. XV No.2.

Darwis, S.N. 1991. Potensi Sirih (Piper betle L) Sebagai Tanaman Obat. Wart Tumbuhan Obat Indonesia. dalam Surya, Erika. 2004. Pemberian Ekstrak Daun Sirih untuk Pencegahan Penyakit Kunang-Kunang yang Disebabkan Oleh Vibrio harveyi pada Benih Udang Windu. Universitas Padjadjaran. Fakultas Pertanian. Jurusan Perikanan.

Departemen Pertanian. Dierektorat Jendral Perikanan. 1992. Penanggulangan Penyakit Kunang-Kunang. Materi Penyuluhan. Jakarta.

Heyra, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. dalam Surya, Erika. 2004. Pemberian Ekstrak Daun Sirih untuk Pencegahan Penyakit Kunang-Kunang yang Disebabkan Oleh Vibrio harveyi pada Benih Udang Windu. Universitas Padjadjaran. Fakultas Pertanian. Jurusan Perikanan.

Januwati, M. dan S.M.Rosita. 1991. Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Pertumbuhan Sirih (Piper betle Linn.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia. dalam Surya, Erika. 2004. Pemberian Ekstrak Daun Sirih untuk Pencegahan Penyakit Kunang-Kunang yang Disebabkan Oleh Vibrio harveyi pada Benih Udang Windu. Universitas Padjadjaran. Fakultas Pertanian. Jurusan Perikanan.

Kamiso, H.N. 1999. Bebertapa Penyakit Udang yang Timbul dalam Pengelolaan Usaha Tambak dan Cara Pengendaliannya. (Tidak Dipublikasikan).

Martiani, I., Ratnasari, V., dan Hany, U. 2006. Kajian Sistem Resirkulasi Menggunakan Biofilter Terpadu Bivalvia, Makro algae, dan Ikan pada Budidaya Udang Windu (Panaeus monodon). (Tidak Dipublikasikan).

Maryani, dkk. 2002. Peranan Ekstrak Kelopak dan Buah Mangrove Sonneratia caseolaris (L) Terhadap Infeksi Bakteri Vibrio harveyi pada Udang Windu (Panaeus monodon FAB.). Jurnal Akuakultur Indonesia 1(3).

Murtidjo, Agus Bambang. 2003. Benih Larva Udang Windu Skala Kecil. Kanisius. Yogyakarta.

Pemerintah Propinsi Daerah TK.I JAWA BARAT. Dinas Perikanan. Penanggulangan Hama dan Penyakit Udang. Bandung.

Prayogo, B. Dan Sytaryadi. 1991. Pemanfaatan Sirih untuk Pelayanan Kesehatan Primer. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. . dalam Surya, Erika. 2004. Pemberian Ekstrak Daun Sirih untuk Pencegahan Penyakit Kunang- Kunang yang Disebabkan Oleh Vibrio harveyi pada Benih Udang Windu. Universitas Padjadjaran. Fakultas Pertanian. Jurusan Perikanan.

Purnomo, T. 1997. Bioremediasi Perairan Tambak Udang Intensif Menggunakan Kerang Hijau (Mytilus viridis), Kerang Dara (Anadara granosa), dan Rumput Laut (Gracillaria sp). dalam Martini, I. dkk. 2006. Kajian Sistem Resirkulasi Tertutup Menggunakan Biofilter Bivalvia dan Makroalgae pada Pembesaran Udang Windu (Panaeus monodon).
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. (Tidak Dipublikasikan).


Rostiana, O, S.M. Rosita, dan D. Sitepu. 1991. Keanekaragaman Genotipa Sirih ( L.). Asal dan Penyebaran. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. dalam Surya, Erika. 2004. Pemberian Ekstrak Daun Sirih untuk Pencegahan Penyakit Kunang-Kunang yang Disebabkan Oleh Vibrio harveyi pada Benih Udang Windu. Universitas Padjadjaran. Fakultas Pertanian. Jurusan Perikanan.

Rukyani, Akhmad. 1999. Beberapa Jenis Penyakit Sebagai Kendala Utama Budidaya Udang dan Cara Pengendaliannya. Bdan Litbang Pertanian. Sidik. 1996. Tanaman Obat Pilihan. Yayasan Sidowayah. dalam Surya, Erika. 2004. Pemberian Ekstrak Daun Sirih untuk Pencegahan Penyakit Kunang-Kunang yang Disebabkan Oleh Vibrio harveyi pada Benih Udang Windu. Universitas Padjadjaran. Fakultas Pertanian. Jurusan Perikanan.

Soetomo, M. 1990. Teknik Budidaya Udang Windu. dalam Martini, I. dkk. 2006. Kajian Sistem Resirkulasi Tertutup Menggunakan Biofilter Bivalvia dan Makroalgae pada Pembesaran Udang Windu (Panaeus monodon). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. (Tidak Dipublikasikan).

Suyanto, S. Rachmatun dan Mujiman Ahmad. 2004. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya.s