Ekosistem Hutan Mangrove (Outsourcing)

Selasa, 06 Oktober 2009 di 1:54:00 PM

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sekitar 75% dari luas wilayah nasional adalah berupa lautan. Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati yang terbesar di dunia. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya.
Mangrove merupakan salah satu jenis tumbuhan dari sekian banyak keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir dan laut Indonesia. Mangrove adalah jenis tumbuhan yang banyak dijumpai di pantai-pantai landai berlumpur dan muara-muara sungai, di Indonesia hutan mangrove tersebar dari sabang sampai merauke, yang menjadi ciri khas adalah model perakaran yang menunjukkan pola adaptasi terhadap lingkungan yang dipengaruhi pasang surut. Ekosistem yang kompleks dan ekstrim ini tempat bagi ratusan jenis burung air, dan tempat memijahnya bagi jenis ikan berniali ekonomis seperti bawal, udang, kepiting dan nener.
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Mangrove mempunyai nilai produksi bersih yang cukup tinggi, yakni: biomassa (62,9–398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8–25,8 ton/ha/th), dan riap volume (20 tcal/ha/th. 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir.
Ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan sumberdaya alam, yakni letak hutan mangrove terbatas pada tempat tertentu, peranan ekologis ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya, dan hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi, serta hutan mangrove sebagai sumber daya alam yang dapat dipulihkan pendayagunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat, sejauh mungkin dapat mencegah pencemaran lingkungan dan menjamin kelestariannya untuk keperluan masa kini dan akan datang.
Akan tetapi menurut data yang ada, hutan bakau di Indonesia telah banyak berkurang. Kerusakan hutan mangrove yang  ada saat ini pada dasarnya disebabkan oleh eksploitasi masyarakat baik dilakukan secara sadar maupun tidak. Dalam melaksanakan eksploitasi ini umumnya adalah untuk kepentingan ekonomi misalnya pembukaan untuk lahan pertanian, perkebunan, pembuatan arang/kayu bakar dan untuk pembuatan rumah, terutama sejak digulirkannya program ekstensifikasi tambak. Menurut M. Prakosa di Asia Pulse (Antara, 15 Mei 2003), dari 8,6 juta hektar hutan bakau yang ada (terluas di dunia), sekitar 5,8 juta hektar (68%) telah mengalami kerusakan yang serius, dimana salah satu penyebab utamanya adalah akibat ekstensifikasi tambak udang. Hal ini dilakukan karena kenaikan permintaan udang dari negara-negara di Eropa, Amerika dan Asia.
Untuk itu perlu dilakukannya pengelolaan kawasan hutan mangrove dan yang berhubungan dengan ekosistem hutan mangrove tersebut. Untuk mencapai tujuan pengelolaan kawasan, maka arahan dan penyiapan rencana perlu dibuat berdasarkan kondisi kawasan dan lingkungan sekitarnya, dengan mengkaji aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Disamping itu dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat kawasan serta sumber daya alam yang terkandung didalamnya, sekaligus memecahkan masalah yang dihadapi serta mengantisipasi kondisi yang akan datang, maka diperlukan suatu rumusan kegiatan-kegiatan dalam bentuk Rencana Pengelolaan.
Penyusunan Rencana Pengelolaan memuat kegiatan-kegiatan pokok sebagai arahan dalam pengelolaan kawasan. Teknis penyusunannya disesuaikan dengan PP No. 68 Tahun 1998 tentang kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam serta Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa dan Cagar Alam Jangka Panjang yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian alam tahun 1995. Kegiatan-kegiatan konservasi yang direncanakan diharapkan sejalan dengan perkembangan pembangunan diberbagai sektor, serta meningkatnya aktifitas dan dinamika masyarakat

1.2 Rumusan Masalah
1. Sejauh manakah pengetahuan mahasiswa mengenai ekosistem mangrove?
2.   Bagaimanakah hutan mangrove di Indonesia?

1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
1.   Mengetahui definisi ekosistem hutan mangrove
2.   Mengetahui zonasi hutan mangrove
3. Mengetahui arti penting ekosistem hutan mangrove
4. Mengetahui jenis flora dan fauna pada ekosistem hutan mangrove
5. Mengetahui interaksi di ekosistem mangrove
6. Mengetahui penyebab kerusakan ekosistem mangrove
7. Mengetahui pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia

1.3.2 Manfaat
Memberikan literature kepada masyarakat, sehingga dapat menyadarkannya agar lebih memperhatikan hutan mangrove dan menjaga kelestarian hutan mangrove secara bersama-sama.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hutan Mangrove Dan Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu Komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individutumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup denganlingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.

2.2 Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
1.Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
2.Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
3.Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
4.Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.




2.3 Arti Penting Ekosistem Mangrove
2.3.1 Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendiri sendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).

2.3.2 Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :


1. Fungsi ekologis :
Sebagai penyangga kehidupan, hutan mangrove (bakau) tidak dapat dipungkiri memiliki peran dan fungsi ekologis yang sangat penting. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis.
Dengan adanya kawasan mangrove maka diperoleh beberapa manfaat yaitu:
a.Mangrove memiliki sistem akar yang kuat, tajuknya rapat dan lebat sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dan menahan intrusi air laut.
b.Mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
c.Tempat berpijah aneka biota laut,
d.Tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga,
e.Sebagai pengatur iklim mikro.
f.  Kemampuannya mensuplai nutrien bagi peraian di sekitarnya. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa daun–daun mangrove yang telah gugur, yang jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan fungi, yang sekaligus berfungsi membantu proses pembusukan daun menjadi detritus.
g.  Keberadaan mangrove berperan penting dalam siklus hidup beberapa biota yang bernilai ekonomis seperti kepiting, udang, bandeng dan ikan laut lainnya, karena pada masa bertelur dan memijahkan anaknya sebagian besar biota-biota itu bersiklus dikawasan pesisir yang bermangrove, baru setelah mereka dewasa akan kembali kelaut lepas.
h.  Habitat satwa langka
Hutan mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus).
i.  Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
j.  Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
k.  Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat diantara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif.
l.  Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
m.  Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
n.  Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
o.  Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.

2. Fungsi ekonomis :
a.Penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan)
b.Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit,
Pewarna)
c.Penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
d.Pariwisata, penelitian, dan pendidikan.

2.4 Flora dan Fauna di Ekosistem Mangrove

2.4.1 Fauna Mangrove

Fauna yang terdapat di ekosistem mangrove merupakan perpaduan antara fauna ekosistem terestrial, peralihan dan perairan.  Fauna terestrial kebanyakan hidup di pohon mangrove sedangkan fauna peralihan dan perairan hidup di batang, akar mangrove dan kolom air. Beberapa fauna yang umum dijumpai di ekosistem mangrove dijelaskan sebagai berikut:

1. Mamalia

Banyak mamalia terdapat di hutan mangrove tetapi hanya sedikit yang hidup secara permanen dan jumlahnya terbatas. Hutan mangrove merupakan habitat tempat hidup beberapa mamalia yang sudah jarang ditemukan dan. Pada saat terjadinya surut banyak monyet-monyet (Macacus irus) terlihat mencari makanan seperti shell-fish dan kepiting sedangkan kera bermuka putih (Cebus capucinus) memakan cockles di mangrove. Indikasi pemangsaan ini diperoleh dari sedikitnya jumlah cockles yang ditemukan di lokasi mangrove yang memiliki banyak kera. Jika jumlah kera menjadi sangat banyak akan mempengaruhi pembenihan mangrove karena komunitas ini menginjak lokasi yang memiliki benih sehingga benih mati. Kera proboscis (Nasalis larvatus) merupakan endemik di mangrove Borneo, yang mana ia memakan daun-daunan Sonneratia caseolaris dan Nipa fruticans (FAO,1982) juga propagul Rhizophora. Sebaliknya, kera-kera tersebut di mangsa oleh buaya-buaya dan diburu oleh pemburu gelap. Hewan-hewan menyusui lainnya termasuk Harimau Royal Bengal (Panthera tigris), macan tutul (Panthera pardus) dan kijing bintik (Axis axis), babi–babi liar (Sus scrofa) dan Kancil (Tragulus sp) di rawa-rawa Nipa di sepanjang selatan dan tenggara Asia ; binatang-binatang karnivora kecil seperti ikan-ikan berkumis seperti kucing (Felix viverrima), musang (Vivvera sp dan Vivverricula sp), luwak (Herpestes sp).
Berang-berang (Aonyx cinera dan Lutra sp) umum terdapat di hutan mangrove namun jarang terlihat. Sedangkan Lumba-lumba seperti lumba-lumba Gangetic (Platanista gangetica) dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) juga umum  ditemukan di sungai-sungai hutan mangrove, yaitu seperti Manatees (Trichechus senegalensis dan Trichechus manatus latirostris) dan Dugong (Dugong dugon), meskipun spesies-spesies ini pertumbuhannya jarang dan pada beberapa tempat terancam mengalami kepunahan.

 

2. Reptil dan Ampibia

Beberapa spesies reptilia yang pernah ditemukan di kawasan mangrove Indonesia antara lain biawak (Varanus salvatoe), Ular belang (Boiga dendrophila), dan Ular sanca (Phyton reticulates), serta berbagai spesies ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. Limnocharis.
Buaya-buaya dan binatang alligator merupakan binatang-binatang reptil yang sebagian besar mendiami daerah berair dan daerah muara. Dua spesies buaya (Lagarto), Caiman crocodilus (Largarto cuajipal) dapat dijumpai umum dijumpai di hutan mangrove, dan sebagai spesies yang berada dalam keadaan waspada karena kulitnya diperdagangkan secara internasional. Caiman acutus mempunyai wilayah geografi yang sangat luas dan dapat ditemukan di Cuba, Pantai lautan Pasifik di Amerika Tengah, Florida dan Venezuela. Jenis buaya Cuba, seperti Crocodilus rhombifer terdapat di Cienaga de Lanier dan bersifat endemik. Aligator Amerika seperti Alligator mississippiensis tercatat sebagai spesies yang membahayakan di Florida (Hamilton dan Snedaker, 1984). Buaya yang memiliki moncong panjang (Crocodilus cataphractus) terdapat di daerah hutan bakau Afrika dan di Asia. Berbagai cara dilakukan untuk melindungi hewan-hewan tersebut tergantung negara masing-masing misalnya di India, Bangladesh, Papua New Guinea dan Australia mengadakan perlindungan dengan cara konservasi, (FAO, 1982). Sejumlah besar kadal, Iguana iguana (iguana) dan Cetenosaura similis (garrobo) pada umumnya terdapat di hutan mangrove di Amerika Latin, dimana mereka menjadi santapan masyarakat setempat sebagaimana juga jenis kadal yang serumpun dengan mereka di Afrika bagian barat (Varanus salvator). Pada umumnya penyu merupakan sebagai mahkluk sungai yang meletakkan telur-telur mereka pada pantai berpasir yang memiliki hutan mangrove. Selain hewan-hewan tersebut ular juga dapat ditemukan di sekitar area mangrove, khususnya pada dataran yang mengarah ke laut.

 

3. Burung

Pada saat terjadinya perubahan pasang surut merupakan suatu masa yang ideal bagi berlindungnya burung (dunia burung), dan merupakan waktu yang ideal bagi burung untuk melakukan migrasi. Menurut Saenger et al. (1954), tercatat sejumlah jenis burung yang hidup di hutan mangrove yang mencapai 150-250 jenis. Beberapa penelitian tentang burung di Asia Tenggara telah dilakukan oleh Das dan Siddiqi 1985 ; Erftemeijer, Balen dan Djuharsa, 1988; Howes,1986 dan Silvius, Chan dan Shamsudin,1987.
Di Kuba, terdapat beberapa spesies yang menempati tempat atau dataran tinggi seperti Canario  del manglar (Dendroica petechis gundlachi) dan tempat yang lebih rendah seperti  Oca del manglar (Rallus longirostris caribaeus). Burung yang paling banyak adalah Bangau yang berkaki panjang. Dan yang termasuk burung pemangsa adalah Elang laut (Haliaetus leucogaster), Burung layang-layang (Haliastur indus), dan elang pemakan ikan (Ichthyphagus ichthyaetus). Burung pekakak dan pemakan lebah adalah burung-burung berwarna yang biasa muncul atau kelihatan di hutan mangrove.

 

4. Sumber Daya Perairan

Substrat yang ada di ekosistem mangrove merupakan tempat yang sangat disukai oleh biota yang hidupnya di dasar perairan atau bentos. Dan kehidupan beberapa biota tersebut erat kaitannya dengan distribusi ekosistem mangrove itu sendiri. Sebagai contoh adalah kepiting yang sangat mudah untuk membuat liang pada substrat lunak yang ditemukan di ekosistem mangrove. Beberapa sumberdaya perairan yang sering ditemukan di ekosistem mangrove dijelaskan sebagai berikut :

a. Ikan

Ikan di daerah hutan mangrove cukup beragam yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :
1)Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya dijalankan di daerah hutan mangrove seperti ikan Gelodok (Periopthalmus sp).
2)Ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan hutan mangrove selama periode anakan, tetapi pada saat dewasa cenderung menggerombol di sepanjang pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove, seperti ikan belanak (Mugilidae), ikan Kuweh (Carangidae), dan ikan Kapasan, Lontong (Gerreidae).
3)Ikan pengunjung pada periode pasang, yaitu ikan yang berkunjung ke hutan mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, contohnya ikan Kekemek, Gelama, Krot (Scianidae), ikan Barakuda, Alu-alu, Tancak (Sphyraenidae), dan ikan-ikan dari familia Exocietidae serta Carangidae.
4)Ikan pengunjung musiman. Ikan-ikan yang termasuk dalam kelompok ini menggunakan hutan mangrove sebagai tempat asuhan atau untuk memijah serta tempat perlindungan musiman dari predator.

b. Crustacea dan Moluska

Berbagai jenis fauna yang relatif kecil dan tergolong dalam invertebrata, seperti udang dan kepiting (Krustasea), gastropoda dan bivalva (Moluska), Cacing (Polikaeta) hidup di hutan mangrove.  Kebanyakan invertebrata ini hidup menempel pada akar-akar mangrove, atau di lantai hutan mangrove. Sejumlah invertebrata tinggal di dalam lubang-lubang di lantai hutan mangrove yang berlumpur.  Melalui cara ini mereka terlindung dari perubahan temperatur dan faktor lingkungan lain akibat adanya pasang surut di daerah hutan mangrove.
Biota yang paling banyak dijumpai di ekosistem mangrove adalah crustacea dan moluska. Kepiting, Uca sp dan berbagai spesies Sesarma umumnya dijumpai di hutan Mangrove. Kepiting-kepiting dari famili Portunidae juga merupakan biota yang umum dijumpai. Kepiting-kepiting yang dapat dikonsumsi (Scylla serrata) termasuk produk mangrove yang bernilai ekonomis dan menjadi sumber mata pencaharian penduduk sekitar hutan mangrove. Udang yang paling terkenal termasuk udang raksasa air tawar (Macrobrachium rosenbergii) dan udang laut (Penaeus indicus , P. Merguiensis, P. Monodon, Metapenaeus  brevicornis) seringkali juga ditemukan di ekosistem mangrove.  Semua spesies-spesies ini umumnya mempunyai dasar-dasar sejarah hidup yang sama yaitu menetaskan telurnya di ekosistem mangrove dan setelah mencapai dewasa melakukan migrasi ke laut. Ekosistem mangrove juga merupakan tempat memelihara anak- anak ikan. Migrasi biota ini berbeda-beda tergantung spesiesnya. Udang Penaeus dijumpai melimpah jumlahnya hingga kedalaman 50 meter sedangkan Metapenaeus paling melimpah dalam kisaran kedalaman 11-30 meter dan Parapenaeopsis terbatas hanya pada zona 5-20 meter. Penaeid bertelur sepanjang tahun tetapi periode puncaknya adalah selama Mei – Juni dan Oktober- Desember yang bertepatan dengan datangnya musim hujan atau angin musim.  P. Merquiensis  setelah post larva ditemukan pada bulan November dan Desember dan setelah 3 - 4 bulan berada di mangrove mencapai juvenile dan pada bulan Maret sampai Juni  juvenil berpindah ke air yang dangkal. Setelah mencapai dewasa atau lebih besar, udang akan bergerak lebih jauh lagi keluar garis pantai untuk bertelur dengan kedalaman melebihi 10 meter.  Waktu untuk bertelur dimulai bulan Juni dan berlanjut sampai akhir Januari.
Molusca yang memiliki nilai ekonomis biasanya sudah jarang ditemukan di ekosistem mangrove karena dieksploitasi secara besar-besaran. Contohnya adalah spesies Anadara sp saat ini jarang ditemukan di beberapa lokasi ekosistem mangrove karena dieksploitasikan secara berlebihan.  Bivalva lain yang paling penting di wilayah mangrove adalah kerang darah (Anadara granosa) dan gastropod yang biasanya juga dijumpai terdiri dari Cerithidia obtusa, Telescopium mauritsii dan T telescopium. Kerang-kerang ini merupakan sumber daya yang penting dalam produksi perikanan, dan karena mangrove mampu menyediakan substrat sebagai tempat berkembang biak yang sesuai, dan sebagai penyedia pakan maka dapat mempengaruhi kondisi perairan sehingga menjadi lebih baik. Kerang merupakan sumberdaya penting dalam pasokan sumber protein dan sumber penghasilan ekonomi jangka panjang. Untuk penduduk sekitar  pantai menjadikan kerang sebagai salah satu jenis yang penting dalam penangkapan di wilayah mangrove.









 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar. Fauna perairan yang hidup di ekosistem mangrove (Bengen,2002)

 

2.5 Interaksi Di Ekosistem Mangrove

Secara umum di perairan terdapat dua tipe rantai makanan yaitu rantai makanan langsung dan rantai makanan detritus. Di ekosistem mangrove rantai makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur.
Keberhasilan dari pengaturan menggabungkan dari mangrove berupa sumber penghasil kayu dan bukan kayu, bergantung dari pemahaman kepada; satu parameter dari ekologi dan budaya untuk pengelolaan kawasan hutan (produksi primer) dan yang kedua secara biologi dimana produksi primer dari hutan mangrove merupakan sumber makanan bagi organisme air (produksi sekunder). Pemahaman aturan tersebut merupakan kunci dalam memelihara keseimbangan spesies yang merupakan bagian dari ekosistem yang penting.
Rantai ini dimulai dengan produksi karbohidrat dan karbon oleh tumbuhan melalui proses Fotosintesis. Sampah daun kemudian dihancurkan oleh amphipoda dan kepiting. (Head, 1971; Sasekumar, 1984). Proses dekomposisi berlanjut melalui pembusukan daun detritus secara mikrobial dan jamur (Fell et al., 1975; Cundel et al., 1979) dan penggunaan ulang partikel detrital (dalam wujud feses) oleh bermacam-macam detritivor (Odum dan Heald, 1975), diawali dengan invertebrata meiofauna dan diakhiri dengan suatu spesies semacam cacing, moluska, udang-udangan dan kepiting yang selanjutnya dalam siklus dimangsa oleh karnivora tingkat rendah. Rantai makanan diakhiri dengan karnivora tingkat tinggi seperti ikan besar, burung pemangsa, kucing liar atau manusia.
Sumber energi lain yang juga diketahui adalah karbon yang di konsumsi ekosistem mangrove (contoh diberikan oleh Carter et al., 1973; Lugo dan Snedaker 1974; 1975 dan Pool et al; 1975). Dalam siklus ini dimasukan input fitoplankton, alga bentik dan padang lamun, dan epifit akar Odum et al. (1982).. Sebagai contoh fitoplankton mungkin berguna sebagai sebuah sumber energi dalam mangrove dengan ukuran yang besar dari perairan dalam yang relatif bersih. Akar mangrove penyangga epifit juga memiliki produksi yang tinggi. Nilai produksi perifiton pada akar penyangga adalah 1,4 dan 1,1 gcal/m2/d telah dilaporkan. (Lugo et al. 1975; Hoffman and Dawes,1980). Secara umum jaring makanan di ekosistem mangrove disajikan pada gambar di bawah ini.





















Gambar. Jaring makanan di ekosistem mangrove

2.6  Kerusakan Hutan Mangrove
Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah mangrove tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Dalam 24 tahun terakhir, keberadaan hutan mangrove di Indonesia semakin parah. Pada tahun 1993 luas hutan mangrove di Indonesia 3,7 juta hektar. Namun pada tahun 2005, hutan mangrove tersebut tinggal sekitar 1,5 juta hektar.
     Awal kehancuran hutan mangrove ini dimulai dari usaha pertambakan sekitar tahun 1988. Pada saat itu, harga udang memang sedang menggiurkan sehingga penduduk berlomba-lomba mengubah hutan mangrove menjadi tambak udang. Kerusakan kemudian bertambah parah ketika dibangun pusat perbelanjaan megah yang pernah terjadi di Simpang-siur Kuta. Pembabatan hutan bakau hingga kini masih terus terjadi. Maklum, letak hutan bakau tersebut sangat strategis. Ironisnya, justru pemerintah mengeluarkan banyak IMB (izin mendirikan bangunan) di kawasan hutan bakau ini. Tanpa ada usaha untuk menolak konversi hutan bakau, baik untuk perluasan bandara maupun kegiatan lainnya, penyerobotan dan alih fungsi hutan bakau akan terus berlanjut.
Selain itu juga terjadi di Sumatera Selatan yang merupakan provinsi yang memiliki kawasan mangrove yang sangat luas. Menurut data interpretasi melalui GPS tahun 2006 (Anonim, 2006a), yang melakukan inventarisasi dan identifikasi mangrove porvinsi Sumatera Selatan menyatakan bahwa Banyuasin memiliki hutan mangrove yang cukup luas, yaitu sebesar 1.168.248,97 ha. Tetapi sangat disayangkan, sekitar 69,30% mengalami rusak berat dan kurang lebih 14,54% mengalami kerusakan. Di daerah Bengkulu mengalami kerusakan sebesar 35 persen dari luas bakau sekitar 11.000 ha. Sehingga saat ini hutan bakau di Bengkulu dalam keadaan rusak parah akibat penebangan secara ilegal.
Manurut hasil penelitian yang dilakukan oleh ICoMAR, pada tahun 1997 mangrove di kawasan delta mahakam mencapai 150.000 ha, namun kini hanya tersisa 15 persen atau sekitar 2.000 ha. Sementara itu, di pantai Utara Jakarta, pada tahun 1998 luas hutan bakau sekitar 1.200 ha, namun saat ini hanya tinggal 327 ha atau keberadaan hutan bakau yang ada di pantai utara Jakarta hanya tersisa 27 persen. Di kabupaten Rembang Jawa Tengah mengalami kerusakan sekitar 39,1persen atau 117,1 ha. Kondisi sedang sekitar 9,4 persen, dan dalam kondisi baik sekitar 50 ha. sebanyak 6 pulau di Provinsi Riau tenggelam akibat abrasi air laut. Pulau yang tenggelam itu adalah Pulau Nipah, Barkih, Raya, Jenir, Desa Muntai dan Sinaboi. Bencana tengelamnya pulau-pulau kecil itu disebabkan eksploitasi hutan bakau (mangrove) yang membabi buta di Riau. Selain di Bengkalis, kerusakan hutan bakau juga terjadi di Kabupaten Indragiri Hilir.
Data dari World Bank maupun World Conservation Forum yang menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,5-2 juta hektare (ha) per tahun. Jika keadaan ini berlanjut, pada tahun 2005 hutan dataran rendah di Sumatera akan lenyap, menyusul Kalimantan di tahun 2010.
Harian Kompas-Pontianak (2004) menyebutkan, dari sekitar 3,7 juta hektar kawasan mangrove di seluruh Tanah Air, sekitar 1,8 juta hektar di antaranya kini rusak parah akibat pembabatan yang tak terkendali. Pembabatan hutan mangrove leluasa dilakukan berbagai pihak karena hingga saat ini tidak ada keinginan kuat dari pemerintah untuk menyelamatkan hutan mangrove.
Ketua Harian Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Nyoto Santoso mengemukakan hal itu pada Seminar Pengelolaan Kawasan Mangrove yang diselenggarakan Jaringan Mahasiswa Pelestarian Mangrove Indonesia di Universitas Tanjungpura, Pontianak, pekan lalu. "Di ASEAN, sekarang yang masih mengeksploitasi hutan mangrove hanya tinggal Indonesia dan Malaysia. Namun, Indonesia termasuk negara yang mengalami kerusakan hutan mangrove paling parah di dunia," paparnya.
Nyoto mengungkapkan, China dan Thailand dalam beberapa tahun terakhir sudah menghentikan sama sekali eksploitasi hutan mangrove. Ini mereka lakukan setelah menyadari kawasan hutan mangrove merupakan ekosistem unik yang memiliki nilai ekonomis serta nilai ekologis yang sangat tinggi. "Bahkan, beberapa negara seperti Thailand sudah mengembangkan hutan mangrove menjadi obyek wisata yang sangat menarik," tuturnya.
Di Indonesia, nilai pemanfaatan hutan mangrove bernilai ekonomi rendah karena masih sebatas bersifat eksploitatif. Selain itu, minimnya perhatian terhadap pelestarian kawasan hutan ini dari berbagai pihak membuat pembukaan hutan mangrove menjadi sangat cepat dan berlangsung dalam ekskalasi yang sangat besar.
Kerusakan kawasan hutan mangrove yang paling parah terutama di sekitar Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kawasan hutan yang didominasi nipah ini sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1997, pembukaan lahan tambak udang sekitar 15.000 hektar atau 10 persen dari luas hutan mangrove yang mencapai 150.000 hektar. Namun, dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah sekitar 74.000 hingga 80.000 hektar, dan sisanya pun mengalami kerusakan yang cukup parah.
Hancurnya hutan mangrove di beberapa kawasan tersebut merupakan potret suram pengelolaan anugerah Tuhan. Pemerintah tidak bisa menjaganya, bahkan ada dugaan terjadi penyimpangan sehingga hutan bakau bukannya bertambah, tetapi sebaliknya, kian menyusut. Ini mencerminkan betapa buruknya kita sebagai bangsa dalam mengelola sumber daya alam. Keteledoran pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup selama ini sudah saatnya dihentikan. Apalagi Indonesia telah sepakat untuk menerapkan ''pembangunan berkelanjutan''. Sebagai bagian dari masyarakat global, maka bangsa Indonesia pun tidak terlepas dari kewajiban untuk turut menerapkannya.

2.7 Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1).
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar.


Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan
Dampak Potensial
Tebang habis
• • Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda yang penting secara ekonomi.
Pengalihan
aliran air tawar,
misalnya pada
pembangunan
irigasi
• • Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih
asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitive terhadap perubahan lingkungan.
• • Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara melalui aliran air tawar berkurang.
Konversi
menjadi lahan
pertanian,
perikanan
• • Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.
• • Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.
• • Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut.
• • Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
Pembuangan
sampah cair
(Sewage)
• • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi anaerobik.
Pembuangan
sampah padat
• • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.
• • Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang
kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.
Pencemaran
minyak akibat
terjadinya
tumpahan
minyak dalam
jumlah besar.
• • Penambangan
dan ekstraksi
mineral.
• • Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak.
• • Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan :
−  Musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut.

• • Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :
− Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove.

2.8 Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Indonesia
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.

2.8.1 Isu Ekologi dan Isu Sosial Ekonomi
1. Isu Ekologi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.
2. Isu Sosial Ekonomi
Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove.Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.

2.8.2  Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Hal yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut.

2.8.3  Strategi dan Pelaksanaan Rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
1.      Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
2.      Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi: komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
     Strategi pengelolaan hutan mangrove lainnya yang telah mulai diaplikasikan adalah sebagai berikut:
1. Hutan Mangrove Berkelanjutan
Ada beberapa contoh positif mengenai pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan oleh komunitas-komunitas lokal serta inisiatif-inisiatif berbasis desa guna memperbaiki hutan-hutan mangrove yang rusak atau telah dihancurkan. Salah satu kelompok di Indonesia yang mendorong pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas tersebut adalah Yayasan Kelola. Organisasi ini berbasis di Sulawesi Utara. Bersama-sama dengan Mangrove Action Project (MAP) sebuah Ornop di Amerika Serikat yang bekerja dengan sejumlah organisasi rekanan di berbagai negara, Yayasan Kelola telah mengembangkan sebuah kurikulum mengenai hutan bakau di sekolah-sekolah setempat. Selain itu, mereka juga telah membangun Pusat Sumber Daya Komunitas Pantai (Coastal Community Resource Centre) di desa Tiwoho, Taman Laut Nasional Bunaken. Gagasan utamanya adalah menciptakan tempat dimana komunitas-komunitas pesisir lokal dan para praktisi sumberdaya pesisir berbasis komunitas di tingkat nasional maupun internasional, untuk berkumpul bersama dalam lokakarya dan seminar mengenai pengelolaan sumber daya pantai, termasuk juga masalah rehabilitasi hutan mangrove.
MAP Indonesia melaporkan bahwa di desa Tiwoho, tempat MAP melakukan kerja sama dengan penduduk desa untuk memperbaiki kondisi hutan bakau di wilayah tambak udang yang ditelantarkan, berhasil menciptakan peraturan desa untuk konservasi menyeluruh yang meliputi wilayah hutan bakau seluas 40 hektar yang berlokasi dekat desa. (Late Friday News edisi ke-118)

2. Wanamina (silvofishery)  Sebagai Pengelolaan Hutan Mangrove
Demikian pula dengan kawasan pertambakan juga perlu ditata dengan menerapkan sistem wanamina (silvofishery). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif tanpa menghilangkan fungsi ekonomis areal mangrove sebagai lahan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui budidaya sistem polikultur dan wanamina. Sistem polikultur adalah sistem budidaya ikan yang dipelihara lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah. Sistem ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami yang ada di kolam. Sedangkan, wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini kemungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Anonim, 2007b).
Semakin dijaganya ekosistem mangrove maka akan memberikan nilai ekonomi lebih besar bagi masyarakat sehingga masyarakat sangat berperan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove.



BAB 3. KESIMPULAN

1.  Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau.
2.  Zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan.
3.  Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut selain itu, mangrove juga memiliki fungsi baik dari segi ekologis maupun ekonomis.
4.  Beberapa jenis fauna flora pada ekosistem hutan mengrove seperti mamalia, amphibi, reptilian dan sumber daya perairan lainnya serta berbagai spesies tumbuhan mangrove.
5.  Rantai ini dimulai dengan produksi karbohidrat dan karbon oleh tumbuhan melalui proses Fotosintesis. Sampah daun kemudian dihancurkan oleh amphipoda dan kepiting. Proses dekomposisi berlanjut melalui pembusukan daun detritus secara mikrobial dan jamur dan penggunaan ulang partikel detrital (dalam wujud feses) oleh bermacam-macam detritivor, diawali dengan invertebrata meiofauna dan diakhiri dengan suatu spesies semacam cacing, moluska, udang-udangan dan kepiting yang selanjutnya dalam siklus dimangsa oleh karnivora tingkat rendah. Rantai makanan diakhiri dengan karnivora tingkat tinggi seperti ikan besar, burung pemangsa, kucing liar atau manusia.
6.  Kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia yang tak terkendali.
7.  Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama yaitu isu  ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.

DAFTAR PUSTAKA


Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

IUCN - The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. IUCN. Gland, Switzerland.

Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan danKelautan IPB. Bogor, Indonesia.

Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.

Lawrence, D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Alih bahasa oleh T. Mack dan S. Anggraeni. The Great Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville, Australia.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.

Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.

Widigdo, B. 2000. Diperlukan Pembakuan Kriteria Eko-Biologis Untuk Menentukan “Potensi Alami” Kawasan Pesisir Untuk Budidaya Udang. Dalam : Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pesisir dan Coastal Resources Center–University of Rhode Island. Bogor, Indonesia.